Pada kehidupan bermasyarakat dalam sehari hari kita sering menjumpai dengan sadar ataupun tidak sadar bahwa pelapisan sosial dan kesamaan derajat banyak di jumpai. Diantaranya adalah seorang keluarga raja dan rakyat biasa yang merupakan berbeda kasta jika dalam hukum pelapisan sosial, maka dari itu saya akan membahas tema Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Derajat pada kesempatan kali ini.
Menyadari bahwa setiap manusia memiliki peranan sosial yang berbeda beda antara satu dengan yang lainnya dalam kehidupan bermasyarakat sehari hari, mengerti pemahaman dari para ahli pengertian atau penjelasan tentang materi yang sedang saya bahas, serta menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat tentang pelapisan sosial bagaimana kita harus menyikapinya.
Teori
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).
Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul Social Stratification mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.
Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
statifikasi sosial menurut max weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Dasar dasar pembentukan peran sosial antara lain :
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Proses Terjadinya Pelapisan Sosial :
- Terjadi dengan sendirinya
Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Ada pula lapisan tertentu yang terbentuk bukan berdasarkan kesengajaan, tetapi secara alamiah. Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan sendirinya.
Oleh karena sifatnya yang tanpa sengaja inilah, maka bentuk lapisan dan dasar daripada pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakat dimana system itu berlaku.
Sistem ini ditunjukan untuk mengejar tujuan bersama. Dengan adanya pembagian yang jelas dalam hal wewenang dan kekuasaan ini, maka didalam organisasi itu teradapat keteraturan sehingga jelas bagi setiap orang ditempat mana letaknya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki dan dalam suatu organisasi baik secara vertical maupun horizontal.
Didalam sistem organisasi ini mengandung dua sistem, yaitu:
Sistem Fungsional : merupakan pembagian kerja kepada kedudukan yang tingkatnya berdampingan dan harus bekerja sama dalam kedudukan yang sederajat. Namun kelemahannya karena organisasi itu sudah diatur sedemikian rupa, sering terjadi masalah dalam menyesuaikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Sistem Skalar : merupakan pembagian kekuasaan menurut tangga atau jenjang dari bawah ke atas(vertical).
Pembedaan Sistem Pelapisan Menurut Sifatnya dapat dibedakan menjadi :
Sistem pelapisan masyarakat yang tertutup
Kasta Brahmana : merupakan kastanya golongan-golongan pendeta dan merupakan kasta tertinggi.
Kasta Ksatria : merupakan kasta dari golongan bangsawan dan tentara yang dipandang sebagai lapisan kedua.
Kasta Waisya : merupakan kasta dari golongan pedagang yang dipandang sebagai lapisan menengah ketiga.
Kasta Sudra : merupakan kasta dari golongan rakyat jelata.
Paria : golongan dari mereka yang tidak mempunyai kasta. Misalnya kaum gelandangan, peminta dan sebagainya.
Sistem pelapisan masyarakat terbuka
Sistem yang demikian dapat kita temui didalam masyarakat Indonesia. Setiap orang diberi kesempatan untuk menduduki segala jabatan bila ada kesempatan dan kemampuan utnuk itu. Tetapi disamping itu, orang juga dapat turun dari jabatannya bila dia tidak mampu mempertahankannya. Status (kedudukan)yang diperoleh berdasarkan atas usaha sendiri disebut Archieve status.
Metodologi
Penulisan ini menggunakan metodologi secara online, dimana berbagai sumber inline yang dianggap penting atau dipercaya kebenarannya di tuangkan kedalam halaman blog saya, dan beberapa saya tambahkan atau modifikasi dengan tidak lupa mencantumkan sumber aslinya.
Studi Kasus
Catur Wangsa vs Catur Warna
Dalam ajaran agama Hindu (agama mayoritas di Bali), setahu saya ajaran tentang kasta (Catur Wangsa) tidaklah ada, yang ada adalah Catur Warna. Dan menurut apa yang pernah saya baca, baik di internet, koran atau pun lainnya, konon sistem kasta baru ada semenjak abad ke 14.
Sistem Catur Warna diubah oleh Belanda yang dulu menjajah Indonesia, tujuannya yaitu untuk memecah belah kekuatan di masyarakat, yaitu dengan semakin memperlebar jarak antara Raja dan rakyatnya, memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok kasta, salah satu trik adu domba.
Itu sedikit sejarah yang saya tahu. Lalu bagaimana dengan keadaan saat ini? Saat ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta.
Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri dari 3 bagian yaitu :
Golongan 1 : Ida Bagus dan lainnya
Golongan 2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
Golongan 3 : Tidak berkasta
Kasta Dalam Kehidupan Sehari-Hari :
Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta menggunakan bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel dan level di atasnya. Sementara ketika berbicara dengan berkasta lebih rendah, yang memiliki kasta lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan bahasa yang biasa atau lebih kasar.
Dalam kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya lebih dihormati, salah satunya ditunjukkan dengan bahasa seperti yang saya katakan diatas. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih mampu alias kaya.
Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta namun tetap dihormati. Dan kembali juga kepada masing-masing orang karena pada kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang hormat kepada mereka yang berkasta.
Pernikahan
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi.
Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa jika dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi. Bahkan pihak keluarga perempuan kadang ada rasa bangga.
Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah dengan lelaki tidak berkasta atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah? Ini istilahnya nyerod atau turun kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan kalaupun terjadi biasanya dengan sistem ngemaling yaitu menikah dengan sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan nyerod seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga besar pihak perempuan.
Jadi kalau mau mengikuti tradisi diatas, semakin tinggi kasta perempuan maka semakin sempit pula peluang mereka untuk memilih jodoh. Kasus nyerod sangat jarang, jadi jarang ada lelaki biasa (tidak berkasta) memiliki istri yang berkasta.
Tapi anehnya, dibandingkan dengan kasus nyerod, masyarakat sepertinya lebih terbiasa dan bisa menerima melihat perempuan yang menikah dengan lelaki yang bukan orang Bali/Hindu. Entahlah.
sistem patrilineal ini juga menyebabkan orang Bali secara tidak langsung lebih menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ya walaupun tidak semua orang tua seperti itu.
Bagaimana jika tidak memiliki anak laki-laki? Ada juga sistem pernikahan matrilineal. Yaitu pihak lelaki yang akan bergabung dengan keluarga perempuan. Istilahnya nyentana atau nyeburin, saat ini juga cukup lumrah terjadi.
Kalau pernikahan nyeburin atau nyentana ini terjadi dalam satu tingkatan kasta yang sama, biasanya tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana kalau beda kasta? Pernikahan nyentana dengan kasta berbeda sangat jarang terjadi, karena baik naik kasta atau pun turun kasta akan terlihat aneh di masyarakat.
Misalnya saja si Wayan yang nyentana yaitu menikah pihak perempuan yang berkasta, ini sangat sulit. Pertama, pihak keluara perempuan biasanya tidak akan menerima. Masyarakat di sekitar juga nanti bingung, apakah si Wayan akan naik kasta menjadi berkasta seperti istrinya atau tetap tidak berkasta. Lalu ketika mereka punya anak, apa kastanya ?
Itu yang naik kasta, lalu bagaimana dengan turun kasta? Misalnya seorang lelaki berkasta menikah nyentana ke perempuan yang tidak berkasta. Berarti lelaki tersebut akan kehilangan kastanya. Hal ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga pihak lelaki. Jadi, berkaitan dengan kasta, pernikahan model nyentana akan ribet kalau terjadi dengan berbeda kasta.
Nama
Nama orang Bali pada umumnya memiliki kaitan erat dengan kasta, karena pada nama orang Bali biasanya akan terlihat apa kastanya. Imbuhan kasta ini akan terlihat di bagian awal nama. Saya sudah menulis khusus tentang keunikan nama orang Bali, silahkan simak di link di bawah ini.
http://imadewira.com/nama-orang-bali/
Nah karena ada imbuhan kasta seperti, walaupun jarang namun ada juga yang mengeluh karena nama menjadi cukup panjang. Belum lagi permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan nama kasta antara orang tua dan anaknya.
Tidak seperti di daerah lain, di Bali umumnya seorang anak kastanya harus sama dengan orang tuanya. Jadi seorang anak tidak boleh diberi nama dengan awalan Anak Agung di depannya kalau orang tuanya bukan dari kasta tersebut.
Pembahasan
Dari teori di atas dapat saya ambil kesimpulan bahwa pada umumnya di Bali masih menggunakan sistem kasta, saya sendiri tidak mengatakan bahwa sistem seperti ini buruk dan harus di tinggalkan karena merupakan suatu sejarah yang sudah lama melekat bagi orang bali meskipun bagi orang biasa seperti saya sistem kasta berkesan membeda bedakan manusia sesuai kelasnya dan sebaiknya tidak melihat orang dari apa kastanya.
Penutup
Kesimpulan dari pembahasan kali ini adalah :
1. Bahwa Sistem pelapisan sosial masih ada di beberapa daerah dan kita patut menghormatinya karena merupakan suatu sejarah yang lekat.
2. Dalam bermasyarakat kesamaan derajat adalah mutlak dengan catatan ialah dimata Tuhan yang maha esa manusia tidak dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Daftar Pustaka
4. http://imadewira.com/nama-orang-bali/